PENGERTIAN FRAKSI
Dalam bahasa Inggris faction, dari kata Latin f actio yang artinya tindakan membuat, dapat pula diartikan sebagai hubungan pertalian, perhimpunan, serikat pekerja, pendukung, atau pengikut.
Di Indonesia, istilah fraksi dikenal dalam lembaga perwakilan rakyat (DPR/MPR). Menurut Peraturan Tata Tertib DPR tahun 1971 (Keputusan DPR-RI no. 7/DPR-RI/II1/71-72 pasal 33 ayat 1) fraksi didefinisikan sebagai pengelompokan anggota DPR-RI yang mencerminkan konstelasi pengelompokan politik dalam masyarakat, yang terdiri atas unsur-unsur Golongan Karya dan Golongan Politik. Menurut Peraturan Tata Tertib MPR, fraksi di MPR adalah penggolongan anggota MPR atas dasar konstelasi politik dan pengelompokan fungsional dalam masyarakat. Pengertian fraksi seperti ini masih tetap berlaku sampai pada DPR hasil Pemilu 1987. Sementara itu, menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Persatuan Pembangunan hasil Muktamar Pertama tahun 1984, fraksi didefinisikan sebagai alat perjuangan partai yang diserahi wewenang dan tugas memperjuangkan keputusan-keputusan partai di dalam lembaga legislatif yang harus tunduk dan bertanggung jawab kepada Pimpinan Partai menurut tingkatannya masing-masing. Pengertian serupa ini tampaknya dianut pula di kalangan PDI dan Golkar.
Penggolongan para anggota lembaga perwakilan rakyat di Indonesia ke dalam fraksi-fraksi mengalami pasang surut, artinya pada periode tertentu digunakan istilah fraksi tetapi pada periode lain istilah itu tidak digunakan dan digantikan dengan istilah golongan. Penggolongan ke dalam fraksi-fraksi mulai dilakukan pada masa DPRS tahun 1950 sampai dengan DPR hasil Pemilu pertama (29 September 1955). Setelah dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (atas dasar Penpres No. 4 tahun 1960 tertanggal 24 Juni 1960), penggolongan para anggota perwakilan rakyat ke dalam fraksi-fraksi itu tidak dipergunakan lagi. Selanjutnya, dengan terjadinya pemberontakan G30S/PKI, DPR-GR diperbaharui dengan membekukan keanggotaan PKI dan ormas-ormasnya maupun simpatisannya. Mulai saat itu istilah fraksi di lembaga perwakilan rakyat digunakan lagi.
Pada tahun 1988, di lembaga perwakilan rakyat (DPR), baik di DPR-RI maupun di DPRD I dan DPRD II di seluruh Indonesia, setiap anggota diharuskan memasuki salah satu fraksi yang ada. Di setiap DPRD II, DPRD I, dan DPR-RI dibentuk empat fraksi, yaitu Fraksi ABRI (beranggotakan para wakil rakyat yang diangkat dari Golongan Karya ABRI), Fraksi Persatuan Pembangunan (beranggotakan para wakil rakyat yang dicalonkan oleh PPP), Fraksi Karya Pembangunan (beranggotakan semua wakil rakyat yang dicalonkan oleh Golkar), dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (beranggotakan semua wakil rakyat yang dicalonkan oleh PDI). DPR II itu tidak mempunyai hubungan hierarki organisatoris dari lembaga perwakilan tingkat atas ke lembaga perwakilan di bawahnya, atau sebaliknya, meskipun pimpinan fraksi-fraksi menurut tingkatannya masing- masing ditentukan/disahkan oleh Dewan Pimpinan Organisasi Politik yang sama.
Tugas fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat pada dasarnya: menentukan dan mengatur sepenuhnya segala sesuatu yang menyangkut urusan fraksinya masing-masing, serta meningkatkan kemampuan, efektivitas dan efisiensi kerja para anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat dalam setiap kegiatan DPR. Untuk memperlancar pelaksanaan tugas-tugas tersebut, DPR menyediakan sarana serta anggaran keuangan yang memadai menurut perimbangan jumlah anggota setiap fraksi yang bersangkutan.
Adapun hak-hak fraksi di DPR adalah: ikut serta duduk sebagai anggota pimpinan DPR atau pimpinan serta anggota setiap alat kelengkapan DPR, seperti Komisi, Badan Musyawarah, Badan Urusan Rumah Tangga, Badan Kerja sama Antar-Parlemen, serta dalam setiap kepanitiaan yang dibentuk oleh DPR • pun oleh alat-alat kelengkapan DPR. Hak-hak … nya adalah turut serta menghadiri setiap rapat vans diadakan oleh DPR maupun alat-alat kelengkapan DPR serta panitia-panitia yang dibentuk oleh DPR atau alat kelengkapan DPR. Para anggota fraksi ini dilengkapi dengan hak bersuara, hak memilih dan dipilih.
Penggolongan anggota wakil rakyat ke dalam fraksi-fraksi diterapkan pula dalam lembaga negara tertinggi pemegang kedaulatan rakyat (MPR). Berbeda dengan jumlah fraksi di DPR (empat fraksi), di MPR dibentuk lima fraksi, yaitu: Fraksi ABRI, Fraksi Karya Pembangunan, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia, Fraksi Partai Pembangunan, dan Fraksi Utusan Daerah. Anggota Fraksi ABRI adalah semua anggota MPR yang diangkat dari ABRI, anggota Fraksi Karya Pembangunan adalah semua anggota MPR yang dicalonkan oleh Golkar, anggota Fraksi Persatuan Pembangunan adalah semua anggota MPR yang dicalonkan oleh PPP, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia adalah semua anggota MPR yang dicalonkan oleh PDI, sedangkan anggota Fraksi Utusan Daerah adalah semua anggota DPR yang dicalonkan oleh DPRD I. Tujuan pembentukan fraksi adalah meningkatkan daya guna kerja majelis dan anggota majelis untuk melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. Seperti halnya para anggota DPR yang harus memasuki salah satu fraksi yang ada, para anggota MPR juga harus memasuki salah satu fraksi yang ada. Untuk memperlancar pelaksanaan tugas dalam masa sidang, majelis menyediakan sarana yang diperlukan oleh setiap fraksi. Hak-hak fraksi di MPR, antara lain: ikut serta menjadi anggota pimpinan dan/atau anggota alat-alat kelengkapan MPR, seperti pimpinan MPR, Badan Pekerja MPR, Komisi MPR, Panitia-panitia Ad Hoc MPR, dan panitia-panitia yang dibentuk oleh alat kelengkapan MPR maupun Sidang Paripurna dengan memiliki hak suara, hal memilih dan dipilih. Di samping itu, fraksi di MPR mempunyai hak untuk mengajukan calon presiden atau wakil presiden.
Satu hal yang dapat dicatat dari perkembangan mengenai fraksi-fraksi di lembaga perwakilan rakyat itu dari waktu ke waktu adalah bahwa pada masa Demokrasi Parlementer (1950—1959) tidak ada ketentuan bahwa setiap anggota lembaga perwakilan rakyat harus memasuki salah satu fraksi yang ada. Para anggota bebas memilih masuk ke dalam salah satu fraksi atau berdiri sendiri. Sementara itu, pada masa Demokrasi Pancasila, setiap anggota lembaga perwakilan rakyat diharuskan memasuki salah satu fraksi yang ada.
Masa Awal Kemerdekaan.
Pada awal jaman kemerdekaan Indonesia, keanggotaan fraksi-fraksi terhimpun dalam lembaga perwakilan rakyat yang disebut Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Badan ini dibentuk pada tanggal 20 Agustus 1945 dan berperanan membantu tugas-tugas eksekutif sebelum MPR/DPR terbentuk. KNIP melaksanakan tugas- tugasnya sampai dengan tanggal 26 Desember 1949, karena pada tanggal 27 Desember 1949 bentuk negara berubah menjadi Republik Indonesia Serikat,.dan peranan tersebut diambil alih oleh Dewan Perwakilan Rakyat RIS. Susunan keanggotaan KNIP ini mengalami beberapa kali perubahan. Selama tahun 1945 saja terjadi perubahan tiga kali. Pada awal pembentukannya, susunan keanggotaan KNIP tidak digolongkan ke dalam fraksi atau golongan tertentu. Pada waktu pertama kali dibentuk, badan ini beranggotakan sekitar 60 orang. Selanjutnya pada tanggal 23 Agustus terjadi penambahan jumlah anggota menjadi kurang lebih 103 orang dan pada tanggal 25 November 1945 terjadi lagi perubahan menjadi sekitar 132 orang. Perubahan-perubahan terjadi pula pada tahun 1946, yaitu pada tanggal 28 Februari, ketika anggotanya menjadi 218 orang, 1 Maret 1946 menjadi 225 orang.
Pada sidang ke-IV tahun 1946 di Solo tanggal 28 Februari—2 Maret 1946, timbul keinginan para anggota KNIP untuk memperbarui susunan keanggotaan KNIP agar didapatkan susunan perwakilan yang lebih baik. Akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1946 tentang pembaharuan KNIP yang kemudian dibatalkan dan diganti dengan Undang-undang No. 12 tahun 1946 tentang pembaharuan susunan KNIP. Undang-undang ini berlaku sejak tanggal 8 Juli 1956. Menurut Undang- undang No. 12 tahun 1946, KNIP ditetapkan beranggotakan 200 orang, diantaranya 110 orang yang dipilih dari daerah-daerah, 60 wakil partai politik, dan 30 ditunjuk sendiri oleh Presiden. Untuk melaksanakan Undang-undang tersebut, Presiden kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6 tahun 1946 tentang penyempurnaan KNIP yang memberi hak kepada partai-partai politik besar dan golongan-golongan besar yang dianggap belum cukup terwakili di KNIP untuk mengajukan calon-calonnya, sedangkan gubernur- gubernur diberi wewenang untuk menetapkan wakil- wakil daerah. Dengan Peraturan Presiden No. 6 tahun 1946 itu, dalam sidangnya yang ke-V di Malang tanggal 25 Februari dan 6 Maret 1947, jumlah anggota KNIP menjadi 407 orang.
Dengan dibubarkannya KNIP pada tanggal 27 Desember 1949, bentuk negara diubah menjadi Republik Indonesia Serikat dan konstitusi yang berlaku juga diganti (Konstitusi RIS). Pada masa RIS ini, jumlah anggota DPR-RIS 150 orang, diantaranya 50 anggota mewakili negara bagian Republik Indonesia dan 100 orang yang mewakili negara-negara bagian lain di luar Republik Indonesia. Pada masa ini penggolongan keanggotaan DPR tidak didasarkan atas fraksi-fraksi partai atau golongan, melainkan atas dasar wakil negara bagian. Tetapi setelah RIS bubar dan bentuk negara menjadi kesatuan kembali, dan UUD yang berlaku juga diganti (UUDS 1950), dibentuklah DPRS. Pada masa DPRS ini penggolongan anggota dewan perwakilan rakyat mulai menggunakan istilah fraksi.
Tetapi DPRS ini kemudian juga dibubarkan setelah diadakannya pemilihan umum tanggal 29 September 1955. Pemilu tahun 1955 ini memilih 272 anggota DPR, yang dikelompokkan ke dalam fraksi-fraksi. Pada tanggal 22 Juli 1959, Presiden Sukarno ri^enge- luarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1959 yang, antara lain, menegaskan bahwa sementara DPR belum-tersusun menurut ketentuan pasal 19 ayat 1 UUD 1945, DPR yang dibentuk berdasarkan UU no. 7 tahun 1953 tetap menjalankan tugasnya menurut ketentuan UUD 1945. Atas dasar Penpres tersebut, pada tanggal 23 Juli 1959 diadakan pelantikan anggota DPR hasil Pemilu 1955 menjadi DPR berdasarkan UUD 1945. Tetapi pada tanggal 5 Maret 1960, DPR hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Penpres No. 1 tahun 1959 tertanggal 22 Juli 1959 itu dibekukan kegiatannya oleh Presiden Sukarno, karena tidak mau menyetujui RAPBN yang diajukan oleh presiden. Kemudian presiden menetapkan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) berdasarkan Penpres No. 4 tahun 1960 tertanggal 24 Juni 1960. Penyusunan keanggotaan DPR-GR ini tidak lagi didasarkan pada imbangan kekuatan partai-partai atau
organisasi-organisasi dalam Pemilu, melainkan ditentukan sendiri oleh presiden.
Atas saran Presiden Sukarno, dalam sidangnya tanggal 14 Juli 1960, DPR-GR memutuskan adanya lima golongan saja di DPR, yaitu: Golongan Nasionalis, Golongan Islam, Golongan Komunis, Golongan Kristen-Katolik, dan Golongan Karya. Komposisi keanggotaan DPR-GR ini berlangsung hingga tanggal 21 Oktober 1965. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Pimpinan DPR-GR No. 10 dan No. 13/ Pimp/I/65-66 tertanggal 22 Oktober 1965 dan 12 November 1965 ditetapkan pembekuan «sementara 62 orang anggota DPR-GR eks anggota PKI/ormas- ormas/simpatisannya. Selanjutnya dengan Rapat Pleno DPR-GR tanggal 15 November 1965 ditetapkanlah pemberhentian para anggota DPR-GR eks wakil PK1 dan ormas-ormas/simpatisannya, disertai pemberhentian pemberian gaji, uang kehormatan, dan sebagainya. Atas dasar itu, komposisi keanggotaan DPR-GR berubah dengan hilangnya wakil PKI/ ormas-ormas/simpatisannya, yang tidak digantikan.
Masa Orde Baru.
Susunan keanggotaan DPR-GR pada masa awal Orde Baru mengalami beberapa kali penyegaran. Penyegaran pertama dilakukan pada tanggal 20 Juni 1966, dengan membekukan keanggotaan DPR-GR dari PKI/ormas-ormas/simpatisannya. Penyegaran selanjutnya diadakan pada tahun 1967 dan 1968, berupa penambahan dan penggantian anggota.
Masa keanggotaan DPR-GR Orde Baru ini berlangsung hingga dilaksanakannya Pemilu pertama di masa Orde Baru, 3 Juli 1971, yang menetapkan 460 orang anggota DPR, yaitu 360 wakil yang dipilih dan 100 yang diangkat. Berdasarkan amanat Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966 mengenai penyederhanaan kepartaian, komposisi keanggotaan DPR hasil Pemilu ini dikelompokkan ke dalam empat fraksi. Dengan terjadinya fusi partai-partai politik pada bulan Januari 1973 (NU, Parmusi, Perti, dan PSII berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973; dan PNI, Partai Katolik, Parkindo, Murba, dan IPKI berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia pada tanggal 10 Januari 1973), keanggotaan DPR terdiri atas: Fraksi ABRI, Fraksi Karya Pembangunan, Fraksi Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia.
Komposisi keanggotaan fraksi-fraksi di DPR mengalami perubahan dengan diadakannya Pemilu Anggai 2 Mei 1977, 4 Mei 1982, dan 23 April 1987. Berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1985 tentang Pemilihan Umum dan Undang-undang No. 2 • 1985 tentang Susunan dan Kedudukan M PR, Di dan DPRD, setelah Pemilu tanggal 23 April 1987 tersebut ditentukan bahwa jumlah anggota DPR ditambah hingga menjadi 500 orang dan jumlah anggota MPR ditambah hingga menjadi 1.000 orang.