MENGENAL QASIM AMIN
Qasim Amin adalah salah seorang pemikir pembaharuan dalam Islam, dilahirkan di sebuah desa bernama Tarah, daerah pinggiran kota Mesh pada bulan Desember 1865. Dia berasal dari keturunan bangsa Kurdi, ayahnya adalah seorang komandan militer dalam pasukan Mesir, karenanya kehidupan keluarga ini tergolong cukup. Namun demikian keluarga ini cenderung memilih hidup dalam kesederhanaan.
Masa kecil Qasim Amin dijalaninya di kota Iskandariyah. Di kota ini dia menuntut pendidikannya pada tingkat dasar di Madrasah Iskandariyah. Kemudian setelah selesai, dia melanjutkan pada Madrasah Tajhiziyah di Kairo, dan selanjutnya di Universitas Al-Azhar Kairo. Pada tahun 1881 Qasim Amin dikirim ke Perancis untuk melanjutkan pendidikannya pada Universitas Montpellier. Pada universitas ini Qasim Amin belajar pada Fakultas Hukum, dan setelah selesai dari studinya, dengan mendapatkan gelar kesarjanaannya dalam bidang hukum, dia kembali ke Mesir. Sekembalinya ke Mesir dia bekerja pada Dewan Perwakilan Rakyat dan pada sebuah lembaga hukum. Karena tugas-tugasnya itu Qasim Amin harus menetap di Kairo, dan ini dijalaninya sampai is meninggal pada tanggal 23 April 1908.
Qasim Amin mempakan salah seorang murid dan pengikut Syeikh Muhammad Abduh. Sebagaimana gurunya, yang mengemukakan ide-ide pembaharuan dalam pemikiran Islam, Qasim Amin juga mempunyai ide-ide pemikiran pembaharuan. Idenya terutama dalam mengangkat derajat wanita, atau emansipasi wanita. Sebagaimana gurunya, Qasim Amin berpendapat bahwa Islam menggariskan adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Pada dasarnya ajaran Islam tidak mengacu pada hal-hal yang mengarah pada perendahan derajat wanita, sebagaimana yang diang gap oleh sementara orang. Kondisi wanita yang cenderung tidak menyenangkan, karena selalu dibedakan dalam segala hal dari kaum pria, bukanlah disebabkan oleh ajaran Islam, tetapi disebabkan oleh orang Islam, adat istiadat dan kebiasaan mereka sendiri. Untuk memperbaiki derajat kaum wanita .yang dipandangnya sangat rendah itu, dia menulis buku yang dimaksudkan untuk memperbaiki harkat wanita dan memuat pula ide-idenya dalam persamaan hak antara pria dan wanita. Buku itu diberi nama Tahrir al-Mar’ah yang artinya pembebasan (emansipasi) wanita.
Dalam bukunya ini Qasim Amin mengupas beberapa masalah pokok yang se-lama ini membatasi kebebasan gerak kaum wanita. Masalah-masalah itu antara lain masalah tutup muka bagi wanita, masalah pergaulan wanita dalam masyarakat, masalah poligami dan masalah talak. Di antara empat masalah ini yang banyak dibahas adalah mengenai tutup muka atau hijab. Masalah hijab yang kemudian diikuti dengan larangan bagi wanita untuk keluar rumah sudah menjadi suatu tradisi dalam masyarakat dan dianggap sebagai ajaran Islam. Oleh karenanya masyarakat sangat memegang teguh tradisi yang dianggap sebagai ajaran Islam tersebut. Padahal menu-rut Qasim Amin hal ini bukanlah berasal dari ajaran Islam, namun semata-mata hanyalah tradisi masyarakat saja. Dengan adanya hijab ini, kaum wanita menjadi terbatas ruang geraknya, lebih lanjut mereka terhambat pula dalam bidang pendidikan akibat dari adanya hijab dan larangan keluar rumah. Dengan sepenuh tenaga Qasim Amin berusaha meyakinkan akan perlunya penanggalan hijab bagi wanita dan bolehnya mereka keluar rumah untuk menuntut pendidikan. Dia mengingatkan bahwa tertinggalnya wanita dalam bidang pendidikan berarti tertinggalnya suatu bangsa dari kemajuan. Hal ini disebabkan penduduk suatu negara 50% adalah wanita, dan ini berarti bahwa separuh penduduk berada dalam keadaan terbelakang. Tambahan lagi wanita adalah pendidik bagi putra-putri mereka, bagaimana wanita terbelakang dapat mendidik anak-anaknya? Demikian Qasim Amin menjelaskan akan perlunya pendidikan dan kebebasan bagi wanita.
Selanjutnya apa yang berlaku di masyarakat mengenai perkawinan pada waktu itu dianggapnya sebagai suatu aturan yang pincang. Suatu kenyataan bahwa pria dapat mengawini wanita dengan pilihan sepihak dan hanya dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Selain daripada itu pria dapat juga menceraikan istrinya tanpa sebab yang jelas dan kemudian dapat. berpoligami tanpa menghiraukan hukum-hukum atau ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Quran. Oleh sebab itu is berpendapat bahwa perbaikan nasib kaum wanita dapat dicapai hanya dengan penanggalan hijabnya dan pendidikan saja tidak cukup, namun harus juga diperhatikan peraturan perkawinan yang meliputi sistem perkawinan itu sendiri, poligami dan perceraian.
Ide Qasim Amin ini ternyata dipandang terlalu jauh oleh para ulama. Oleh karena itu tidak sedikit kritikan dan kecaman yang diarahkan kepadanya oleh para ulama waktu itu. NamUn Qasim Amin tidak mundur dari ide-idenya, dan untuk menjawab segala kritikan dan kecaman itu dia menulis sebuah buku dengan judul alMar’at al-Jadidat (Wanita Modern). Dalam bukunya yang kedua ini Qasim Amin banyak menguraikan argumen-argumen yang lebih jelas untuk mempertahankan pendapat-pendapatnya.